METODE PEMBELAJARAN DISETIAP JENIS SLB
Pembelajaran di SLB A
Sekolah
luar biasa A adalah sekolah yang hanya memberikan pelayanan pendidikan kepada
anak berkebutuhan khusus yaitu hanya kepada anak tunanetra. Tunanetra adalah
Individu yang mengalami hambatan dalam penglihatan atau ketidakberfungsian
organ penglihatan.
Klasifikasi
Tunanetra
A. Klasifikasi
anak tunanetra berdasarkan waktu terjadinya waktu terjadinya ketunanetraan,menurut
lowenfeld :
1. Tunanetra
sebelum dan sejak lahir : dimana individu sama sekali tidak memiliki pengalaman
penglihatan
2. Tunanetra
pada usia kecil : dimana individu telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman
visual tetapu belum kuat dan mudah terlupakan
3. Tunanetra
pada usia sekolah atau pada masa remaja :dimana individu telah memiliki
kesan-kesan visual yang meninggalkan pengaruh mendalam terhadap proses perkembangan
pribadi
4. Tunanetra
pada usia dewasa : dimana individu yang pada umumnya sudah mampu melakukan
latihan-latihan penyesuaian diri.
5. Tunanetra
pada usia lanjut : dimana individu sebagian besar individu sudah sulit
mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri
6. Tunanetra
akibat bawaan (partial sight bawaan)
B. Klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan
daya penglihatan
1. Tunanetra
ringan ( defective vision / low vision)
Yaitu individu yang
memiliki hambatan dalam penglihatan tetapi masih dapat mengikuti program-program
pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi
penglihatan
2. Tunanetra
setengah berat (partially sighted)
Yaitu individu yang
kehilangan sebagian daya penglihatan, tetapi mampu mengikuti pendidikan biasa
dengan menggunakan kaca pembesar ataupun hanya bisa membaca tulisan yang
bercetak tebal.
3. Tunanetra
berat ( totally blind)
Yaitu individu yang sama sekali
tidak dapat melihat.
Klasifikasi
pada tunanetra dibuat berdasarkan :
A. Segi
Pendidikan
Menurut Hathaway, klasifikasi
didasarkan dari segi pendidikan, yaitu :
§ Anak yang memiliki
ketajaman penglihatan 20/70 atau kurang setelah memperoleh pelayanan medik.
§ Anak yang mempunyai
penyimpangan penglihatan dari yang normal dan menurut ahli mata dapat
bermanfaat dengan menyediakan atau memberikan fasilitas pendidikan yang khusus.
B.
Karakteristik
Anak Tunanetra
a. Fisik (Physical)
Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik
diantaranya :
ΓΌ Mata juling
ΓΌ Sering berkedip dan gerakan mata
cepat
ΓΌ Menyipitkan mata
ΓΌ (kelopak) mata merah
ΓΌ Mata infeksi dan selalu berair
ΓΌ Pembengkakan pada kulit tempat
tumbuh bulu mata.
b. Perilaku (behavior)
Ada beberapa gejala tingkah laku yang tampak sebagai
petunjuk dalam mengenal anak yang mengalami gangguan penglihatan secara dini :
ΓΌ Menggosok mata secara berlebihan.
ΓΌ Menutup atau melindungi mata
sebelah, memiringkan kepala atau mencondongkan kepala ke depan.
ΓΌ Sukar membaca atau dalam mengerjakan
pekerjaan lain yang sangat memerlukan penggunaan mata.
ΓΌ Berkedip lebih banyak daripada
biasanya atau lekas marah apabila mengerjakan suatu pekerjaan.
ΓΌ
c. Psikis
I.
Mental
/ Intelektual
Intelektual atau kecerdasaran anak
tunanetra pada umumnya tidak berbeda jauh dengan anak normal. Kecenderungan IQ
anak tunanetra berada pada batas atas sampai pada batas bawah, sehingga ada
anak tunanetra yang pintar, cukup pintar, dan tidak pintar. Intelegensi mereka
lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan sebagainya.
Mereka juga punya emosi negatif dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa
benci, kecewa, gelisah, bahagia dan sebagainya.
II.
Sosial
Hubungan sosial yang pertama sekali
terjadi pada anak adalah hubungan dengan anggota keluarga (ayah, ibu, saudara).
Terkadang, ada orang tua yang tidak siap menerima kehadiran anak tunanetra,
sehingga muncul ketegangan (masalah) dalam keluarga tersebut.
Tunanetra mengalami hambatan dalam
perkembangan kepribadian dengan timbulnya beberapa masalah, yaitu:
1) Curiga terhadap orang lain
2) Perasaan mudah tersinggung
3) Ketergantungan yang berlebihan
C.
Strategi
Pembelajaran Anak Tunanetra
Permasalahan strategi pembelajaran dalam pendidikan anak
tunanetra didasarkan pada dua pemikiran, yaitu :
1. Upaya memodifikasi lingkungan agar
sesuai dengan kondisi anak (di satu sisi).
2. Upaya pemanfaatan secara optimal
indera-indera yang masih berfungsi, untuk mengimbangi kelemahan yang disebabkan
hilangnya fungsi penglihatan (di sisi lain).
D.
Prinsip-Prinsip
Pembelajaran Anak Tunanetra
I.
Prinsip
Individual
adalah prinsip umum dalam
pembelajaran manapun (PLB maupun pendidikan umum) guru dituntut untuk
memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Dalam pendidikan tunanetra,
dimensi perbedaan individu itu sendiri menjadi lebih luas dan kompleks. Di
samping adanya perbedaan-perbedaan umum seperti usia, kemampuan mental, fisik,
kesehatan, sosial, dan budaya, anak tunanetra menunjukkan sejumlah perbedaan
khusus yang terkait dengan ketunanetraannya (tingkat ketunanetraan, masa
terjadinya kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan, dampak sosial-psikologis
akibat kecacatan, dll). Secara umum, harus ada beberapa perbedaan layanan pendidikan
antara anak low vision dengan anak yang buta total. Prinsip
layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang
strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak. Inilah alasan dasar
terhadap perlunya (Individual Education Program – IEP).
Alat
Pendidikan
Alat pendidikan bagi tunanetra terdiri dari alat pendidikan khusus, alat bantu,
dan alat peraga:
- Alat pendidikan khusus: reglet
dan pena, mesin tik brailer, printer brailer, abacus
- Alat bantu : alat bantu
perabaan (buku-buku) dan alat bantu pendengaran (kaset,CD,talkingbooks)
- Alat peraga : alat peraga
tactual atau audio yaitu alat peraga yang dapat diamati melalui perabaan
atau pendengar
Tenaga
pendidikan yang dibutuhkan antara lain:
- Guru
- Psikolog
- Dokter mata
- Optometris
Metode
yang dipakai adalah metode tematik integrative.
Pembelajaran di SLB B
·
Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) dengan bobot yang berbeda dan disesuaikan dengan
ketunaannya, hal ini disebabkan karena SLB berbeda dengan sekolah reguler dari
segi akademisnya, sosialnya, dan banyak hal yang membuat anak-anak yang sekolah
di SLB itu berbeda dengan anak-anak yang bersekolah di sekolah reguler. RPP
yang digunakan di SLB sama dengan RPP yang ada di sekolah regular namun disesuaikan
dengan kondisi setiap kelas, dimana ada tiga kriteria yang dimiliki oleh anak
yaitu total, sedang, dan ringan. Keberhasilan yang dicapai oleh setiap anak pun
berbeda, ada yang bisa menangkap dalam waktu 1 hari, seminggu, sebulan bahkan
tahunan tergantung kemampuan anak tersebut dalam menangkap materi pembelajaran.
·
Di SLB B layanan pendidikan yang digunakan yaitu lebih
banyak menggunakan layanan face to face (tatap muka) karena di SLB tidak
mungkin menggunakan sistim klasikal, hal itu disebabkan oleh SLB menangani anak
yang berkebutuhan khusus perlu penanganan khusus dan yang lebih banyak
diterapkan yaitu bimbingan perseorangannya. Jika di sekolah reguler, guru
bisa sambil menulis, berbicara membelakangi siswa. Sedangkan jika dibandingkan
dengan SLB B guru tidak bisa melakukan hal yang sama dengan guru di sekolah
reguler seperti sambil menulis, berbicara membelakangi siswa harus langsung
bertatap muka kemudian mimiknya bagaimana, ucapannya bagaimana banyak hal yang
harus diperhatikan untuk melayani mereka pengenalan terhadap sesuatu itu yang
sulit. Pada tiap kelas juga disediakan cermin yang berfungsi untuk melatih anak
dalam artikulasi (gerak bibir). Lampu di setiap kelas selalu dinyalakan dengan
tujuan anak dapat dengan jelas membaca mimik guru pada saat menjelaskan materi
pelajaran.
·
Jumlah siswa di setiap kelas di SLB-B tidak sama,
antara 4 sampai 6 orang. Usia siswa di masing-masing kelas juga berbeda-beda
tergantung dari kemampuan siswa. Siswa yang memiliki kemampuan lebih cepat
menangkap materi pelajaran akan ditempatkan di kelas akselerasi (percepatan).
·
Metode yang digunakan di SLB-B dengan di sekolah
regular berbeda, disesuaikan dengan materi dan tingkat kemampuan anak. Sebagian
besar anak SLB-B tidak bisa baca tulis, namun anak mengetahui maksud yang guru
sampaikan seperti jika guru menyuruh anak untuk mengambil sesuatu, guru akan
memberitahu anak dengan menggunakan bahasa isyarat, anak akan mengerti dan
langsung mengambil barang yang dimaksudkan.
·
Mengenai buku pelajaran yang digunakan, SLB-B
menggunakan buku BSE sama dengan buku sekolah regular, namun tidak semua materi
digunakan. SLB-B hanya mengambil materi-materi pelajaran yang sifatnya umum.
·
Teknik Assessment SLB B yang digunakan adalah sistem
assessment secara individual yaitu mengadakan ulangan harian, ulangan tengah
semester dan ulangan akhir semester. Rangkaian Assessmen dilakukan melalui
ulangan sehari-hari, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester secara
klasikal dan individual melalui pengembangan program sesuai dengan kurikulum
yang digunakan di SLB tersebut.
·
Mengenai ekstrakulikuler yang diterapkan disekolah SLB
B, terdapat beberapa ekstrakurikuler yang diberikan atau dilatihkan pada anak
yaitu pramuka, tari, olahraga seperti sepakbola dan senam, komputer (IT), kerajinan
tangan seperti menjahit dan sablon.
Pembelajaran di SLB C/C1
Seperti namanya, pendidikan tunagrahita,
maka pendidikan ini diberikan bagi anak tunagrahita. Sebenarnya, apa yang
dimaksud dengan tunagrahita itu? Tunagrahita adalah individu yang memiliki
intelegensi yang signifikan berada di bawah rata-rata dan disertai dengan
ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan,
mereka juga tidak dapat mencapai kemandirian yang sesuai dengan ukuran
(standar) kemandirian dan tanggung jawab sosial. Anak
tunagrahita juga mengalami masalah dalam keterampilan akademik dan
berpartisipasi dengan kelompok teman yang memiliki usia sebaya. Banyak
yang menyatakan bahwa anak tunagrahita sama dengan anak yang mengalami
retardasi/keterbelakangan mental.
Umumnya, anak tunagrahita dapat
dicirikan sebagai berikut:
a. Penampilan fisik tidak seimbang,
misalnya kepala terlalu kecil/ besar;
b. Pandangan kosong;
c. Tidak dapat mengurus diri sendiri
sesuai usianya;
d. Perkembangan berbicara/bahasa terlambat;
e. Perhatian yang sangat kurang
terhadap lingkungan dan kurang peka;
f. Koordinasi gerakan kurang (gerakan
sering tidak terkendali); dan
g. Sering mengeluarkan ludah (ngiler).
Berdasarkan skor intelegensi (IQ), anak
tunagrahita dibadi menjadi 3, yaitu:
a. Tunagrahita
ringan (IQ antara 51-70)
b. Tunagrahita
sedang (IQ antara 36-51)
c. Tunagrahita
berat (IQ ≤ 20)
Namun dalam pendidikan, anak tunagrahita
dikelompokkan ke dalam dua kategori:
a. Anak
tunagrahita yang masuk SLB C
·
Anak yang memiliki IQ antara 50-70;
·
Anak mampu didik;
·
Anak dapat dimasukkan ke kelas khusus
maupun reguler;
·
Kemampuan setara anak normal umur 8-12
tahun;
·
Dapat membaca, menulis, berhitung
sederhana, dan melakukan aktivitas lain.
b. Anak
tunagrahita yang masuk SLB C1
·
Anak yang memiliki IQ antara 25-49;
·
Anak mampu latih;
·
Jumlah siswa maksimal 10 orang per
kelas;
·
Kemampuan setara anak normal umur 3-8
tahun;
·
Perlu latihan rutin dan berkesinambungan
untuk dapat melakukan aktivitas;
·
Hanya sebagian kecil yang dapat membaca,
menulis, dan berhitung;
·
Kemampuan intelektual lebih terbatas;
·
Mereka dapat diajarkan kemampuan
mengurus diri dan keahlian tertentu.
Anak
tunagrahita harus diberikan pembelajaran yang intens karena mereka memang
membutuhkan sistem pembelajaran yang
kontinu dan konsisten. Disamping itu, pembelajaran yang intensif juga
sangat penting bagi mereka karena dapat mendukung mereka dalam mendapatkan
pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan mereka.
Dalam
keberhasilannya, pendidikan bagi anak tunagrahita dipengaruhi oleh beberapa
komponen seperti guru, siswa, sarana dan prasarana, kurikulum, dan sebagainya.
Adapun teori yang dapat diterapkan oleh sekolah-sekolah bagi anak tunagrahita
(dan anak spesial lainnya) ialah sebagai berikut:
a.
Teori motivasi
Motivasi
yang diberikan dapat berupa reward (hadiah, pujian, dan sebagainya) maupun
dorongan dari guru.
b.
Teori belajar dan tingkah laku
Guru dapat
menerapkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi siswa
dengan lingkungan sekitarnya
(guru-murid, siswa-lingkungan, dan sebagainya).
Pembelajaran di SLB
D/D1
A. PENGERTIAN
SLB D
Yang
dimaksud dengan sekolah luar biasa D adalah sekolah yang menangani anak-anak
Tunadaksa/cacat fisik yang memiliki tingkat kecerdasannya sama dengan anak
normal.
Sehingga
anak-anak ini diharapkan dapat memasuki sekolah umum setelah lulus dari sekolah
dasar.
Anak-anak
luar biasa bagian D apabila secara psikologis telah dapat menerima lingkungan
sekitar , berintegrasi lebih awal lebih baik ditinjau dari psikologi dan sosial
anak.
SLB D1
Sekolah
yang melayani anak-anak Tunadaksa yang memiliki tingkat kecerdasan dibawah
rata-rata anak normal , sehingga dibutuhkan pengajaran khusus
B.
PENDIDIKAN YANG IDEAL BAGI ANAK TUNADAKSA
Tujuan
pendidikan anak Tunadaksa bersifat ganda (dual purpose), yaitu yang berhubungan
dengan aspek rehabilitasi pemulihan dan pengembangan fungsi fisik, dan yang
berkaitan dengan pendidikan yang mengacu pada tujuan pendidikan nasional
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik .
Adapun
prinsip dasar program pendidikannya meliputi:
1. Keseluruhan anak (All the children)
2. Kenyataan (Reality)
3. Program yang dinamis (A dynamic program)
4. Kesempatan yang sama (Equality of opportunity)
5. Kerjasama (Cooperative)
Sedangkan prinsip khusus
Pendidikannya
terdiri dari prinsip multisensori dan prinsip individualisasi.
Multisensori
berarti banyak indera, maksudnya dalam proses pendidikan pada anak tunadaksa
sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indera-indera yang ada dalam
diri anak agar kesan pendidikan yang diterimanya lebih baik.
Prinsip
individualisasi berarti kemampuan masing-masing diri individu lebih dijadikan
titik tolak dalam memberikan pendidikan pada mereka. Model layanannya dapat
berbentuk individual dan klasikal pada individu yang cenderung memiliki
kemampuan yang hamper sama, bahan pelajaran yang diberikan pada siswa sesuai
dengan kemampuan masing-masing anak.
Layanan pendidikan untuk anak Tunadaksa dapat
dilakukan dengan pendekatan guru kelas, guru mata pelajaran/bidang studi,
campuran dan pengajaran tim.
a)
Pembelajaran di sekolah idealnya sebagai
berikut:
b)
Perencanaan kegiatan belajar mengajar:
Program pendidikan yang diindividualisasikan
c)
Prinsip Pembelajaran: Prinsip
multisensori dan prinsip individualisasi
d)
Penataan Lingkungan Belajar
Bangunan
gedung memprioritaskan tiga kemudahan:
·
mudah keluar masuk,
·
mudah bergerak dalam ruangan, dan
·
mudah mengadakan penyesuaian.
e)
Personil:
guru PLB, guru regular, dokter ahli anak, dokter
ahli rehab medis, dokter ahli ortopedi
, dokter ahli syaraf , psikolog, guru
BP, social worker, fisioterapist, occupational therapist, speechterapist,
orthotic dan prosthetic.
f) Bimbingan Belajar
Anak Tunadaksa memerlukan bimbingan belajar membaca, menulis, dan berhitung.
Ketiga kemampuan dasar ini perlu memperoleh layanan
sedini mungkin sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak, manakala telah
memasuki program sekolah dasar.
g) Pembinaan Karier dan Pekerjaan
Untuk mempersiapkan masa depan anak,
di sekolah perlu adanya pembinaan karier. Pengertian karier tidak dipandang
hanya sebagai pekerjaan yang diberikan pada tamatan sekolah menengah atas,
tetapi dibutuhkan oleh semua siswa sejak Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan
Tinggi. Pada jenjang TKLB dan SDLB materi pembahasannya adalah untuk memberikan
pengertian dasar mengenai kemungkinan pekerjaan dalam hidup kelak dan
memberikan kesadaran bahwa sekolah memberi kesempatan untuk bereksplorasi dalam
mempersiapkan kehidupan kelak; sedangkan pada tingkatan yang lebih tinggi
selain melanjutkan materi tersebut telah diarahkan pada prevokasional maupun
vokasional.
Pembinaan karier dan pekerjaan dimulai
dari kegiatan asesmen karir dan pekerjaan agar dapat menyusun program pembinaan
karir dan vokasional yang sesuai dengan kondisi kemampuan dan kecacatan anak
tunadaksa.
Berkaitan dengan penyusunan program,
Philip (1986) mengemukakan bahwa program yang disusun harus berbentuk IEP
(Individualized Educational Program) yang mempunyai ciri-ciri sasaran untuk
remidi bila siswa mengalami kesulitan dalam membaca formulir pekerjaan,
berkomunikasi dengan menggunakan telepon, penggunaan uang dalam pekerjaan, dll.
Salah satu contoh pogram IEP adalah pengembangan motorik halus untuk pekerjaan
menjahit, pertanaman, mengatur makanan, dll.
Alur pembinaan karier dan pekerjaan dapat disajikan seperti berikut:
Asesmen → pemograman → proses → evaluasi → daya guna/tepat guna
Adapun
Frances P. Connor (1995) mengemukakan sekurang-kurangnya ada 7 aspek yang perlu
dikembangkan pada diri masing-masing anak Tunadaksa melalui pendidikan, yaitu:
(1)
pengembangan intelektual dan akademik,
(2)
membantu perkembangan fisik,
(3)
meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak,
(4)
mematangkan aspek sosial,
(5)
mematangkan moral dan spiritual,
(6)
meningkatkan ekspresi diri, dan
(7)
mempersiapkan masa depan anak.
Pembelajaran
di SLB E
SLB
E adalah sekolah untuk anak-anak yang mengalami kesulitan dalam mengendalikan
emosi (Tuna Laras). Anak Tuna Laras pada umumnya sama dengan anak normal
lainnya, hanya saja mereka kesulitan dalam hal pengendalian emosi.
Dalam
SLB E, yang paling diutamakan adalah pembelajaran untuk mengendalikan emosi si
anak. Hal ini dikarenakan permasalahan utama anak Tuna Laras adalah dalam
pengendalian emosinya. Emosi anak Tuna Laras tidak stabil sehingga mereka sulit
untuk tenang dan diarahkan. Oleh karena itu dalam SLB E ini mereka dilatih
untuk lebih tenang dan lebih sabar dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari.
Metode
yang cukup efektif dalam permasalahan ini adalah dengna pemberian tugas yang
melatih kesabaran seperti menyusun puzzle, meronce, bermain Lego, mewarnai, dan
lain sebagainya. Dengan pelatihan seperti itu, anak diharapkan dapat lebih
bersabar dan emosi mereka lebih terkendali. Selain itu para pengajar harus
memahami kondisi si anak, dan bagaimana keadaan si anak dengan cara
mendengarkan keinginan si anak serta mengarahkannya. Pemberian reward atas hal
positif yang dilakukan anak dapat mengarahkan tindakan si anak.
Pembelajaran
di SLB G
SLB
G adalah sekolah yang menangani anak-anak yang mengalami gangguan ganda.
Gangguan ganda tersebut dapat berupa gangguan fisik maupun gangguan mental.
Oleh karena itu metode pembelajaran yang diterapkan haruslah lebih kompleks
daripada metode pembelajaran yang terdapat di jenis SLB lainnya. Penggabungan
metode pembelajaran dari setiap jenis SLB sangat dibutuhkan dalam SLB G ini.
Setiap metode yang dilakukan memiliki peran masing-masing dalam perkembangan
anak-anak yang mengalami gangguan ganda tersebut. Sama seperti di jenis SLB
lainnya, di SLB G ini juga perlu dilakukan pelatihan fisik maupun pelatihan
mental. Cara pengajar dalam memahami dan mengajari anak juga harus diperhatikan.
Pengajar harus mampu mengenal dan memahami masing-masing anak karena setiap
anak pastilah memiliki kebutuhan yang berbeda-beda